Tentang Cinta #KolaboraLis *Tim Kuning*
Pagi yang cerah untukku memulai hari pertama MOS alias Masa Orientasi siswa di sekolah baruku. Ya saat ini jabatanku naik menjadi anak SMA dan itu berarti cap anak ingusan saat berada di SMP akan menghilang dengan sendirinya. Aku berjalan dari gerbang sekolah menuju kelas dengan menggendong tas bermerk Bodypack peninggalan masa SMP, sambil bernyanyi tidak jelas untuk menghilangkan grogi yang berlebihan. Kalau grogi takutnya aku pipis di celana. Oke, itu hal yang sangat konyol sekali. Tidak akan terjadi untuk seribu tahun ke depan. Lantas, dengan langkah kakiku yang pelan namun pasti, aku masuk ke lobi sekolah untuk melihat papan pengumuman pembagian kelas. Kulihat namaku di daftar pengumuman dan ternyata ku dapati namaku berada dideretan kelas ruangan 2. Lalu aku kembali berjalan menelusuri lorong sekolah untuk mencari ruanganku dan kudapati kelas sudah lumayan ramai pada pagi hari itu. Kucari-cari bangku kosong (seperti judul film horor saja) untuk meletakkan tasku ini. Kutemukan bangku itu di pinggir kelas. Aku melirik ke kiri dan kulihat Agung, teman sekelasku saat di SMP dulu, sedang duduk manis di sana.
Kusapa Agung, “Hei, bro! Kenapa gue bisa ditakdirin sekelas sama lu lagi sih?” ujarku sambil nyengir.
Agung mendongak. Mata besarnya menatapku, “Sori,. gue juga gak berharap sekelas sama lu!” ujarnya keki.
Pantas saja si Agung sedikit meradang melihat aku muncul di depannya saat ini. Waktu SMP, kami pernah hampir berkelahi gara-gara memperebutkan hati Dinda, gadis manis di kelas kami dulu.
“Buseett.. Masih sensi aja lo.. Gue malah seneng kok ketemu lo hehe..” jawabku sambil meneruskan cengiran yang makin lebar. Lebih tepatnya menutupi rasa tidak enak hati.
Agung mendengus. “Emangnya lo lupa kenapa gue sebel banget sama lo dulu sampe sekarang?” tanya Agung sambil menatapku lurus-lurus.
Aku sebenarnya malas menjawab. Tapi tersenyum kan lebih baik daripada diam, begitulah kata mama. Jadilah aku menjawab sekenanya, “…kue lapis?”
Kali ini Agung yang terdiam.
“Dari peristiwa zaman SMP itu, yang lo inget malah kue lapis??” kali ini Agung membuang muka.
“Dinda.”
Aku tahu masalahnya itu adalah Dinda bukan kue lapis. Aku mengalihkan pandanganku ke arah tas yang dipakai Agung. Sama sepertiku, ia juga masih memakai tas bodypack zaman SMP kita dulu. Bukan, bukan merk tasnya yang menarik perhatianku. Tapi sesuatu yang menggantung di resleting tasnya.
Ada gantungan kunci berbentuk teddy bear yang sangat familiar di mataku. Aku tahu itu milik Dinda. Kenapa Agung masih memiliki benda itu?
Kami berdua masih ingat, betapa ketat persaingan untuk mendapatkan Dinda. Dinda yang saat itu adalah seorang anak yang manis, berambut panjang, dan dikenal berprestasi itu menjadi ketertarikan sendiri bagi kami. Memang, saat itu umur kami masih dibilang ingusan untuk menyebutnya cinta. Tapi, aku sendiri tak mengerti mengapa perasaan itu bisa muncul. Yah bayangkan saja, kami bertemu hampir setiap hari, dari Senin sampai Jumat dan dari pagi hingga siang hari. Bagaimana tidak bisa perasaan itu terbersit dalam pikiranku.
Sampai saat itu, aku terlibat konflik dengan Agung. Agung yang tiba-tiba menghampiriku di saat istirahat menanyakan perihal hubunganku dengan Dinda. Saat itu, jujur, aku dan Dinda masih sebatas teman baik. Memang intensitas kebersamaan kami cukup tinggi. Namun saking gembiranya dengan kebersamaan kami, aku pun tak tahu ternyata sahabatku Agung juga memendam perasaannya terhadap Dinda. Saat itu aku bingung dan teramat sangat bingung. Ya! Saat di mana aku harus memilih antara persahabat atau cinta.
Jujur saja, bukankah itu pilihan yang sulit? Apalagi di umur-umur seperti saat itu pengalaman kami kan masih dangkal sekali. Bisa ditebak dengan keputusan setengah-hati, setengah-ragu, aku nekat mendahului Agung. Mengumpulkan segenap keberanian yang mungkin menghabiskan stok nekat selama masa SMP lalu aku menyatakan perasaanku pada Dinda. “Well, setidaknya bukankah aku sudah mencoba? Daripada tidak sama sekali kan?” Pikirku saat itu. Gayung bersambut! Ternyata kenekatanku berbuah manis, sekaligus pahit. Tentunya segala sesuatu memiliki untung dan rugi. Yeah, aku mendapatkan cinta pertamaku sekaligus kehilangan sahabat utamaku. Miris.
Lalu Dinda, apa kabarnya gadis itu? Pikiranku melayang pada sesosok raut wajah halus dengan bibir mungilnya yang merah muda. Terakhir kali aku bertemu dengannya saat malam perpisahan sekolah. Malam perpisahan sekolah adalah saat yang kutunggu-tunggu. Kubayangkan kami berdua duduk berdua-duaan jauh dari teman-teman yang bisanya meledek dan mengusili kami lalu Kami akan saling bertukar cerita, berbagi mimpi, dan bercanda tawa memecah keheningan malam itu. Mungkin juga kudapat ciuman pertamaku dari Dinda. Tapi apa yang terjadi? Malam itu, Dinda yang cantik dengan gaun hitam glamornya serta high heels hitam yang sangat pantas ia kenakan, datang ke acara perpisahan sekolah dengan didampingi kekasihnya yang resmi. Dan ia memperkenalkan pria itu kepada kami semua. Seorang pria perlente berjas Armani yang datang dengan bersedan hitam yang mengkilat.
Kalian bisa bayangkan bagaimana remuknya hatiku pada saat itu? Terlanjur kuretakkan bangunan persahabatanku dengan Agung, dan ternyata realita yang kuterima adalah aku hanya dijadikan Dinda sebagai persinggahan sementara. Tapi Agung tak tahu hal itu sebab di malam itu ia tak hadir karena ia marah besar denganku. Sampai saat ini yang ia tahu aku dan Dinda adalah sepasang kekasih.
Apakah Dinda tidak menyadari perasaanku selama ini? Pikiranku masih berputar-putar di sekitar malam itu. Agung. Apakah Dinda juga tidak menyadari perasaan Agung? Perasaan kami berdua? Apakah Dinda tidak seperti yang kami bayangkan, sekedar gadis manis berambut panjang, dengan raut halus dan bibir mungil yang mampu membuat kami berdua mabuk kepayang?
Aku ingat malam itu adalah kala terakhir aku berjumpa dengan Agung. Berkali-kali aku mencoba menghubunginya, bukan untuk menggodanya ataupun memamerkan kehadiranku dengan Dinda di malam perpisahan itu, tetapi untuk menanyakan mengenai “kekasih resmi” Dinda.
Tak pernah sekalipun tercetus di benakku, malam perpisahan yang seharusnya indah, berubah menjadi malam di mana aku kehilangan sahabat terbaik dan juga cinta pertamaku.
Agung.. atau Dinda? Aku tak tahu siapa yang membuat kepalaku semakin berputar.
Mengapa Dinda tega memperlakukan kami seperti ini? Apakah Agung mengetahui soal kekasih resmi Dinda?
Aku hanya bisa terdiam di depan gedung tempat kami melaksanakan acara malam perpisahan.
Nasi memang sudah menjadi bubur. Aku bukannya tidak mencoba untuk membangun kembali persahabatanku dengan Agung yang telah runtuh. Tapi, rasanya sudah sangat sulit membangun persahabatan itu kembali. Sudah jatuh, ketiban tangga! Mungkin itulah peribahasa yang cocok untukku.
Mungkin, kesalahan terbesarku adalah di mana aku tidak menyadari perasaan sahabatku itu. Aku gagal menjadi seorang sahabat! Ya! Sampai saat ini, akhirnya aku dan Agung sama-sama dingin. Sapaan yang dulu nampak sangat lucu, sekarang rasanya hambar. Huh…
Bel sekolah pun berbunyi kencang. Aku tergagap dan menyadari bahwa aku sedang berada di ruang 2 sekolah SMA baruku untuk mengikuti MOS. Acara MOS kemungkinan akan dimulai. Entahlah apa aku akan melalui hari ini dengan sangat menyenangkan atau tidak sama sekali karena Agung sampai saat ini masih terlihat mendiamiku dengan tampang marahnya itu.
“Selamat pagi adik-adik.” Sapa seorang perempuan dan seorang laki-laki yang tentunya memakai seragam putih abu-abu.
“Pagi kak..!!!!” Jawab kami serentak ketika melihat dua orang tersebut adalah senior kami.
“Pagi ini kita akan memulai MOS kita dengan perkenalan terlebih dahulu. Sebelumnya…” Ucapan kakak laki-laki senior itu terpotong.
“Permisi kak, maaf saya terlambat.”
Suara merdu dari seorang perempuan yang terlihat napasnya masih tersengal-sengal karena berlari dan mengagetkan aku dan Agung.
Semua mata tertuju padanya, termasuk mataku dan Agung.
Aku melotot. Perempuan cantik itu ternyata Dinda.
Yah, siapa sangka kalau saat itu kami bertiga kembali dipertemukan? Ini semua bisa jadi cara kerja alam yang berkonspirasi sedemikian rupa. Aku dan Agung saling berpandangan, dalam hatiku bertanya-tanya, mungkinkah babak baru perkelahian kami berdua akan berlanjut di SMA?
END
Ini komentar dari anggota Tim Kuning:
@mbokmenik, nulis keroyokan #kolaboralis ibaratnya makan rujak kepedesan. Terasa dikejar-kejar rasa panas di mulut. air, air, air! kocak, seru ^^
@audrymelissa nulis rame-rame ternyata seruuu, bisa nyatuin ide yang tadinya beda-beda jadi cerita yang kompak banget :) plus dapet temen baru :D
@toshiko_iko satu cerita dan delapan kepala… Bukan tak mungkin menjadi kisah yang menarik untuk dibaca
@winyuk : ini membuktikan teori makin banyak kepala makin ‘aneh’ ceritanya. *tapi nyambung kok ;p good job. :D
@eryanto_abot pengalaman baru, menyenangkan walaupun dikejar deadline :)
@amelmimha seru banget nulis keroyokan dan diwaktu kyk gini. bener-bener pengalaman yang seru. untung dapet temen-temen tim yang kreatif. thanks ya buat lembur ampe dini hari gini hehehehe