WELCOME TO MY BLOG

Amelia Harmelianti Wiradisastra Djayasoebrata

Sabtu, 05 Oktober 2013

Flash Fiction "Aku Tahu Ibu Pembohong Besar"



Mungkin ini akan menjadi senja hari yang paling kelam yang akan aku lewati. Ketidakberdayaan yang ada dalam diriku dan kebohongan besar yang selalu tertutupi. Aku hanya dapat memandang tubuhnya yang terbaring tak berdaya, lemah, dan senyuman tipis dibibirnya. Hanya tatapan mata penuh iba yang kulihat dari orang-orang yang ada disekelilingnya. Ya, dia adalah ibuku yang sudah satu bulan terbaring di Rumah Sakit karena penyakit leukimia-nya.
Aku beranjak dari kursi itu melangkah menuju jendela kamar Rumah Sakit. Pandanganku jauh entah kemana dan membiarkan seluruh suara tangisan itu seakan tidak pernah ada diruangan ini. Sulit untuk kami menerima apa yang dokter katakan pada kami siang itu.
"Maaf, kami sudah tidak dapat membantu lebih. Harapan untuk bertahan sangat tipis. Penyakit ini sangat sulit dan hanya takdir yang dapat menentukan. Berdoalah semoga ada jalan terbaik."
Kata-kata itu yang kini selalu terdengar ditelingaku. Entah perasaan apa yang kini harus aku rasakan, entah perkataan apa yang kini harus aku ucapkan dan entah tindakan apa yang kini harus aku lakukan. Sejenak ku alihkan pandanganku menuju langit sore itu dan teringat kenangan masa lalu saat aku berusia 6 tahun.

Aku terlahir di dalam keluarga yang sederhana dan penuh kasih sayang. Kami memang bukan orang kaya, tetapi mengemis bukanlah jalan kami. Aku ingat betul saat itu, ketika aku mulai memasuki bangku sekolah dasar. Kulihat disekelilingku dan mereka adalah calon temanku. Ya, calon temanku yang sama-sama menjadi siswa baru di sekolah dasar negeri ini. Mereka berpenampilan rapi, wangi, seragam kemeja yang terlihat sangat putih, sepatu baru dan tas baru. Dan aku, mengenakan seragam putih pemberian tetanggaku, tas gendong peninggalan kakakku dan sepatu lama yang kini terasa sangat sempit.
Aku malu dengan apa yang aku kenakan saat itu. Aku menangis dan mogok sekolah jika ibu tidak membelikanku sepatu dan tas baru.
"Iya nak ibu pasti akan membelikannya." Jawabnya dgn senyuman lembut untuk menghentikan tangisanku.
Aku tersenyum bahagia dan berbinar-binar saat mendengar itu, padahal aku tahu pasti bahwa aku bukanlah anak orang kaya yang dapat membeli apapun yang diinginkan. Ayahku hanyalah seorang supir angkot dan Ibuku bekerja paruh waktu sebagai tukang cuci baju dan aku adalah anak bungsu dari 5 bersaudara.
Dan saat jam makan tiba, ini adalah saat terpenting dalam keluarga kami. Kita akan berkumpul bersama dan saling berbagi cerita tentang apa yang telah dilalui disekolah. Setiap harinya hidangan di rumah kami bukanlah hidangan yang mewah. Hanya nasi putih, ikan asin dan kerupuk, bahkan jika Ayah tidak mendapat uang hari itu, maka kami hanya akan makan nasi dan garam saja. Begitulah hidangan sederhana di rumah kami. Malam itu berbeda dari biasanya. Ibu menyiapkan nasi dan ikan asin dipiring yang hanya ada 6, sedangkan saat itu jelas-jelas keluarga kami memiliki 7 anggota.
Aku menatap wajah ibu dan bertanya "ibu, kenapa hanya 6? Apa ibu tidak makan?" Tanyaku polos.
"Ibu masih kenyang. Ayo cepat kalian makan agar bisa belajar untuk sekolah besok." Jawabnya dengan senyuman.
Dan itu terus menerus terjadi hampir disetiap malam dan saat itu aku tahu bahwa ibu mulai berbohong.


Pandanganku beralih kembali menuju ruangan kamar ini dan kali ini kulihat kakak-kakakku masih menangis disamping ibu yang masih terlelap di tempat tidurnya. Aku melangkah perlahan menuju mereka dan ku rangkul salah satu kakakku.
"Lebih baik kakak pulang dan beristirahat, jangan sampai ibu bangun dan melihat tangisan kalian. Biar saya yang berjaga malam ini." Bisikku pada telinga kirinya dan tersenyum saat mengusap air mata kakak pertamaku.
Kakak-kakakku pun mengikuti saranku untuk pulang dan kali ini tinggalah aku dan ibu yang masih tertidur lelap dikamar Rumah Sakit ini.  Kembali terbayang dalam ingatan saat masa kecilku dulu.

3 bulan kemudian ibu memberikanku hadiah yang aku inginkan. Ya, sepatu dan tas baru yang dulu ku pinta saat kejadian hari pertama menjadi siswa baru sekolah dasar. Memang sepatu dan tas ini bukanlah barang yang baru dibeli ditoko, tetapi ibu membelinya ditempat loakan dekat rumah. Aku senang bukan main saat itu. Walau bukan barang baru tetapi bagiku itu tetaplah barang baru untuk ku gunakan ke sekolah.
"Ibu dapat uang dari mana untuk beli ini?" Tanyaku polos pada Ibu.
"Ibu dapat rezeki lebih. Sudah kamu tidak perlu memikirkan dari mana." Jawabnya tersenyum.
Dan lagi-lagi Ibu mulai dengan kebohongannya.

Hujan pun turun begitu deras. Aku melihat rintikan air hujan yang jatuh perlahan-lahan dijendela. Kunyalakan lampu diruangan itu dan kembali teringat kejadian masa lalu saat aku berumur 10 tahun.

Malam itu hujan begitu deras dan suhu tubuhku begitu tinggi. Aku terserang demam disaat hujan besar dan tidak ada uang untuk pergi ke dokter. Setiap hujan dating, rumah kami memang selalu bocor dimana-mana. Gubuk sederhana dengan genting seadanya. Aku ingat malam itu Ibu menggendongku untuk duduk dipangkuannya ditempat yang tidak terkena bocoran air hujan di rumah kami. Ibu mengompresku dengan kain basah dan memelukku dengan erat.
"Ibu tidak capai menggendongku terus seperti ini? Ini sudah malam pasti ibu sudah mengantuk."
Ku lihat matanya sayu dan senyuman lembut dibibirnya.
"Ibu belum ngantuk. Kamu cepat tidur ya, semoga besok pagi panasmu sudah turun."
Dan aku tahu bahwa Ibu kembali berbohong.

Aku duduk disamping tempat tidur Ibu. Kulihat wajahnya yang kini tak muda lagi dan kulihat kecantikannya yang terpancar. Bukan hanya wajahnya yang cantik tetapi hatinya pun memancarkan kecantikan yang seutuhnya. Ku usap pipinya lembut dan tanpa sadar air mataku menetes perlahan. Itu mengingatkanku kembali pada kejadian masa lalu saat aku berumur 15 tahun.

Saat itu hidup kami lebih membaik karena kedua kakakku sudah mendapatkan pekerjaan dan membantu membiayai sekolahku. Tapi malam itu aku melihat Ayah dan Ibu bertengkar begitu hebat. Entah apa yang mereka ributkan. Kulihat Ayah pergi meninggalkan rumah dengan raut wajah yang sangat marah dan kulihat Ibu menangis.
"Ada apa? Kenapa Ibu nangis?" Tanyaku dan duduk disamping Ibu.
"Ibu gak nangis kok, ini cuma kelilipan" jawabnya tersenyum dan mengusap air matanya.
Dan kini Ibu benar-benar kembali berbohong.

Dalam tangisku aku terdiam. Aku sangat merindukan Ibuku yang dulu, Ibuku yang penuh dengan perhatian, cinta dan kasih saying. Aku sadar bahwa dulu aku hanya dapat menyusahkan Ibu tanpa tahu apa yang ia rasakan. Ia berbohong karena tidak ingin melihat anaknya bersedih dan itulah bentuk cinta yang ian tunjukkan dan kini saat Ibu sakit, aku tidak dapat berbuat apapun. Aku ingin membalas semua pengorbanannya dan biarlah tubuhku saja yang menggantikan tubuh Ibu yang terkena kanker itu. Tapi, itu tidak mungkin dan tidak dapat aku lakukan.
Lamunanku buyar saat aku melihat Ibu terbatuk-batuk. Dengan segera aku mengusap air mata dipipiku itu. Kulihat wajahnya seperti menahan rasa sakit yang luar biasa. Aku khawatir dan teramat sangat cemas melihatnya.
“Ibu yang mana yang sakit? Biar saya panggil dokter ya.” Tanyaku khawatir.
“Ibu gak sakit, Ibu hanya lelah saja. Boleh Ibu minta minum?”
“Tentu, sebentar ya Ibu.”
Aku segera menuangkan air hangat kedalam gelas bening yang tidak terlalu besar dan  ku bantu Ibu untuk meminum air itu.
“Ibu, bilang saja yang mana yang sakit? Saya khawatir melihat raut wajah Ibu yang menahan sakit seperti itu.”
“Ibu tidak merasakan sakit apapun. Ibu hanya perlu tidur, nanti juga sehat kembali.”
Ibu pun memejamkan matanya perlahan dan tersenyum. Dan aku tahu disaat-saat terakhir pun Ibu masih tetap pandai berbohong dan itu adalah pejaman mata terakhir dan selama-lamanya.