Mungkin ini akan menjadi senja hari yang
paling kelam yang akan aku lewati. Ketidakberdayaan yang ada dalam diriku dan
kebohongan besar yang selalu tertutupi. Aku hanya dapat memandang tubuhnya yang
terbaring tak berdaya, lemah, dan senyuman tipis dibibirnya. Hanya tatapan mata
penuh iba yang kulihat dari orang-orang yang ada disekelilingnya. Ya, dia
adalah ibuku yang sudah satu bulan terbaring di Rumah Sakit karena penyakit leukimia-nya.
Aku beranjak dari kursi itu melangkah
menuju jendela kamar Rumah Sakit. Pandanganku jauh entah kemana dan membiarkan
seluruh suara tangisan itu seakan tidak pernah ada diruangan ini. Sulit untuk
kami menerima apa yang dokter katakan pada kami siang itu.
"Maaf, kami sudah tidak dapat
membantu lebih. Harapan untuk bertahan sangat tipis. Penyakit ini sangat sulit
dan hanya takdir yang dapat menentukan. Berdoalah semoga ada jalan
terbaik."
Kata-kata itu yang kini selalu terdengar
ditelingaku. Entah perasaan apa yang kini harus aku rasakan, entah perkataan
apa yang kini harus aku ucapkan dan entah tindakan apa yang kini harus aku
lakukan. Sejenak ku alihkan pandanganku menuju langit sore itu dan teringat
kenangan masa lalu saat aku berusia 6 tahun.
Aku terlahir di dalam keluarga yang
sederhana dan penuh kasih sayang. Kami memang bukan orang kaya, tetapi mengemis
bukanlah jalan kami. Aku ingat betul saat itu, ketika aku mulai memasuki bangku
sekolah dasar. Kulihat disekelilingku dan mereka adalah calon temanku. Ya,
calon temanku yang sama-sama menjadi siswa baru di sekolah dasar negeri ini.
Mereka berpenampilan rapi, wangi, seragam kemeja yang terlihat sangat putih,
sepatu baru dan tas baru. Dan aku, mengenakan seragam putih pemberian
tetanggaku, tas gendong peninggalan kakakku dan sepatu lama yang kini terasa
sangat sempit.
Aku malu dengan apa yang aku kenakan saat itu. Aku menangis dan mogok sekolah jika ibu tidak membelikanku sepatu dan tas baru.
Aku malu dengan apa yang aku kenakan saat itu. Aku menangis dan mogok sekolah jika ibu tidak membelikanku sepatu dan tas baru.
"Iya nak ibu pasti akan membelikannya."
Jawabnya dgn senyuman lembut untuk menghentikan tangisanku.
Aku tersenyum bahagia dan berbinar-binar
saat mendengar itu, padahal aku tahu pasti bahwa aku bukanlah anak orang kaya yang
dapat membeli apapun yang diinginkan. Ayahku hanyalah seorang supir angkot dan
Ibuku bekerja paruh waktu sebagai tukang cuci baju dan aku adalah anak bungsu
dari 5 bersaudara.
Dan saat jam makan tiba, ini adalah saat
terpenting dalam keluarga kami. Kita akan berkumpul bersama dan saling berbagi
cerita tentang apa yang telah dilalui disekolah. Setiap harinya hidangan di rumah
kami bukanlah hidangan yang mewah. Hanya nasi putih, ikan asin dan kerupuk, bahkan
jika Ayah tidak mendapat uang hari itu, maka kami hanya akan makan nasi dan
garam saja. Begitulah hidangan sederhana di rumah kami. Malam itu berbeda dari
biasanya. Ibu menyiapkan nasi dan ikan asin dipiring yang hanya ada 6,
sedangkan saat itu jelas-jelas keluarga kami memiliki 7 anggota.
Aku menatap wajah ibu dan bertanya
"ibu, kenapa hanya 6? Apa ibu tidak makan?" Tanyaku polos.
"Ibu masih kenyang. Ayo cepat
kalian makan agar bisa belajar untuk sekolah besok." Jawabnya dengan
senyuman.
Dan itu terus menerus terjadi hampir
disetiap malam dan saat itu aku tahu bahwa ibu mulai berbohong.
Pandanganku beralih kembali menuju
ruangan kamar ini dan kali ini kulihat kakak-kakakku masih menangis disamping
ibu yang masih terlelap di tempat tidurnya. Aku melangkah perlahan menuju
mereka dan ku rangkul salah satu kakakku.
"Lebih baik kakak pulang dan
beristirahat, jangan sampai ibu bangun dan melihat tangisan kalian. Biar saya yang
berjaga malam ini." Bisikku pada telinga kirinya dan tersenyum saat
mengusap air mata kakak pertamaku.
Kakak-kakakku pun mengikuti saranku
untuk pulang dan kali ini tinggalah aku dan ibu yang masih tertidur lelap
dikamar Rumah Sakit ini. Kembali terbayang dalam ingatan saat masa
kecilku dulu.
3 bulan kemudian ibu memberikanku hadiah
yang aku inginkan. Ya, sepatu dan tas baru yang dulu ku pinta saat kejadian
hari pertama menjadi siswa baru sekolah dasar. Memang sepatu dan tas ini
bukanlah barang yang baru dibeli ditoko, tetapi ibu membelinya ditempat loakan
dekat rumah. Aku senang bukan main saat itu. Walau bukan barang baru tetapi bagiku
itu tetaplah barang baru untuk ku gunakan ke sekolah.
"Ibu dapat uang dari mana untuk
beli ini?" Tanyaku polos pada Ibu.
"Ibu dapat rezeki lebih. Sudah kamu
tidak perlu memikirkan dari mana." Jawabnya tersenyum.
Dan lagi-lagi Ibu mulai dengan kebohongannya.
Hujan pun turun begitu deras. Aku
melihat rintikan air hujan yang jatuh perlahan-lahan dijendela. Kunyalakan
lampu diruangan itu dan kembali teringat kejadian masa lalu saat aku berumur 10
tahun.
Malam itu hujan begitu deras dan suhu
tubuhku begitu tinggi. Aku terserang demam disaat hujan besar dan tidak ada
uang untuk pergi ke dokter. Setiap hujan dating, rumah kami memang selalu bocor
dimana-mana. Gubuk sederhana dengan genting seadanya. Aku ingat malam itu Ibu
menggendongku untuk duduk dipangkuannya ditempat yang tidak terkena bocoran air
hujan di rumah kami. Ibu mengompresku dengan kain basah dan memelukku dengan
erat.
"Ibu tidak capai menggendongku
terus seperti ini? Ini sudah malam pasti ibu sudah mengantuk."
Ku lihat matanya sayu dan senyuman
lembut dibibirnya.
"Ibu belum ngantuk. Kamu cepat
tidur ya, semoga besok pagi panasmu sudah turun."
Dan aku tahu bahwa Ibu kembali
berbohong.
Aku duduk disamping tempat tidur Ibu.
Kulihat wajahnya yang kini tak muda lagi dan kulihat kecantikannya yang
terpancar. Bukan hanya wajahnya yang cantik tetapi hatinya pun memancarkan
kecantikan yang seutuhnya. Ku usap pipinya lembut dan tanpa sadar air mataku
menetes perlahan. Itu mengingatkanku kembali pada kejadian masa lalu saat aku
berumur 15 tahun.
Saat itu hidup kami lebih membaik karena
kedua kakakku sudah mendapatkan pekerjaan dan membantu membiayai sekolahku.
Tapi malam itu aku melihat Ayah dan Ibu bertengkar begitu hebat. Entah apa yang
mereka ributkan. Kulihat Ayah pergi meninggalkan rumah dengan raut wajah yang
sangat marah dan kulihat Ibu menangis.
"Ada apa? Kenapa Ibu nangis?"
Tanyaku dan duduk disamping Ibu.
"Ibu gak nangis kok, ini cuma
kelilipan" jawabnya tersenyum dan mengusap air matanya.
Dan kini Ibu benar-benar kembali
berbohong.
Dalam tangisku aku terdiam. Aku sangat
merindukan Ibuku yang dulu, Ibuku yang penuh dengan perhatian, cinta dan kasih
saying. Aku sadar bahwa dulu aku hanya dapat menyusahkan Ibu tanpa tahu apa
yang ia rasakan. Ia berbohong karena tidak ingin melihat anaknya bersedih dan
itulah bentuk cinta yang ian tunjukkan dan kini saat Ibu sakit, aku tidak dapat
berbuat apapun. Aku ingin membalas semua pengorbanannya dan biarlah tubuhku
saja yang menggantikan tubuh Ibu yang terkena kanker itu. Tapi, itu tidak
mungkin dan tidak dapat aku lakukan.
Lamunanku buyar saat aku melihat Ibu
terbatuk-batuk. Dengan segera aku mengusap air mata dipipiku itu. Kulihat
wajahnya seperti menahan rasa sakit yang luar biasa. Aku khawatir dan teramat
sangat cemas melihatnya.
“Ibu yang mana yang sakit? Biar saya
panggil dokter ya.” Tanyaku khawatir.
“Ibu gak sakit, Ibu hanya lelah saja.
Boleh Ibu minta minum?”
“Tentu, sebentar ya Ibu.”
Aku segera menuangkan air hangat kedalam
gelas bening yang tidak terlalu besar dan
ku bantu Ibu untuk meminum air itu.
“Ibu, bilang saja yang mana yang sakit?
Saya khawatir melihat raut wajah Ibu yang menahan sakit seperti itu.”
“Ibu tidak merasakan sakit apapun. Ibu
hanya perlu tidur, nanti juga sehat kembali.”
Ibu pun memejamkan
matanya perlahan dan tersenyum. Dan aku tahu disaat-saat terakhir pun Ibu masih
tetap pandai berbohong dan itu adalah pejaman mata terakhir dan selama-lamanya.